Amas Sindir Elite Penguasa Jadi ‘Binatang Buas’ Di Penggusuran Warga Rempang

Ketua Umum Aliansi Pemuda Nasional (APN) Abdullah Amas menyindir keras elite yang menjadi binatang buas di penggusuran warga Rempang yang viral hari-hari ini.

“Kita perhatikan hari-hari mereka penuh tawa sedang rakyat menderita terusir, memang pemerintah menyiapkan solusi alternatif tempat mereka tinggal tapi harus komunikasi disampaikan betul dari hati ke hati, kalau cara bar-bar dimainkan maka kita tak perlu ke kebun binatang untuk melihat binatang buas”tegas Amas yang juga Ketua Umum DPP Partai Ummat Islam (PUI) dan Direktur Eksekutif PT ATUM INSTITUTE MEDIA ini

Menurut Amas, Para pejabat yang terkesan memaksa dengan cara-cara brutal wajib ditandai wajahnya oleh masyarakat karena itu tindakan sadistis

“Investasi silahkan tapi jangan membuat rugi kelompok adat dan membuat kegaduhan, kalau tidak akan lahir kembali panglima hang tuah yg baru hadir berjuang Untuk melayu”tukasnya

Penyebab Bentrok

Penyebab Bentrok di Pulau Rempang Batam Antara Warga vs Polisi, Apa yang jadi penyebab bentrok antara warga Pulau Rempang dan polisi? – Warga terlibat bentrok dengan petugas gabungan pada Kamis, 7 September 2023 buntut penolakan pemasangan patok di Pulau Rempang, Batam. Akibat bentrokan ini, setidaknya enam warga ditangkap dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Bentrokan itu pecah sesaat setelah petugas gabungan dari TNI, Polri, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP memaksa masuk ke Pulau Rempang untuk melakukan pemasangan patok tata batas dan cipta kondisi. Pemasangan patok itu dilakukan untuk tujuan pengembangan kawasan Pulau Rempang yang akan dijadikan sebagai Program Strategi Nasional Kawasan Rempang Eco-City. Namun, program ini disebut bertentangan dengan kawasan yang telah dihuni masyarakat adat dari 16 suku Melayu Tua sejak 1834. Penyebab Bentrok di Pulau Rempang Batam Warga Rempang yang telah mengetahui petugas gabungan dan BP Batam akan memasang patok di hari itu, warga yang menolak direlokasi (digusur) sengaja berjaga di Jembatan IV Barelang untuk menghadang aktivitas tersebut. Pengadangan itu kemudian berbuntut bentrokan berdarah setelah petugas tetap memaksa masuk ke kawasan Pulau Rempang untuk tujuan pengukuran. Mengutip Antara News, pemicu utama bentrokan itu tidak lain karena masyarakat Rempang masih banyak yang belum setuju dengan adanya pengembangan kawasan Rempang Eco-City. Dalam bentrokan terbaru ini, petugas disebut melakukan tindakan represif hingga menembakkan gas air mata yang menyebabkan puluhan warga mengalami luka-luka dan membuat kondisi semakin tak terkendali. Menurut Kepala Sekolah SMP Negeri 22, Muhammad Nazib, sejumlah siswa di sekolah menjadi korban terkena asap gas air mata dan terpaksa harus diungsikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. “Ada belasan siswa yang saya tau dibawa oleh ambulan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Gas air mata itu terbawa angin, karena ribut dekat dari sekolah kami,” kata Nazib. Di sisi lainnya, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, sebut bentrokan antara warga dan aparat gabungan itu berasal dari aksi penolakan relokasi dan penggusuran terhadap kelompok masyarakat adat Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang. Program nasional yang dicanangkan BP Batam, sebut Zenzi, berpotensi besar mengancam dan menggusur ribuan anggota masyarakat adat Melayu Tua yang ada di kawasan tersebut sejak puluhan tahun. Kronologi Bentrok Warga Rempang Antara Warga vs Polisi Kepolisian Daerah Kepulauan Riau (Polda Kepri) menjelaskan, kronologis bentrokan berawal ketika Badan Pengusahaan (BP) Batam hendak merencanakan untuk melakukan tiang pancang di lokasi pembangunan. Sudah beberapa kali tim terpadu akan melakukan pengukuran dan pematokan, tetapi ada sejumlah kelompok masyarakat selalu menghalang-halangi dan mengatakan tidak setuju rencana proyek Rempang Eco City. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepri Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengatakan, rencana BP Batam itu justru dihasut oleh sejumlah pihak lewat sosial media. Narasi-narasi yang kerap digaungkan, kata dia, tertindas dan lain -lain. Padahal, kawasan itu, semula merupakan kawasan hutan, sedangkan tak jauh dari situ ada otoritas BP Batam. Ia mengklaim BP Batam juga telah menyiapkan relokasi dan ganti rugi kepada warga setempat. Namun, masyarakat tetap menolak. Pandra mengatakan, warga itu memblokade perlintasan yang merupakan tempat aktivitas masyarakat umum. Ia menyebut total ada 17 titik yang diblokade masyarakat. Lebih lanjut, ia mengatakan perihal penggunaan gas air mata yang berujung ricuh antara warga Rempang dan aparat sejatinya sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP). Ia mengatakan semula aparat sudah berusaha membubarkan massa dengan negosiasi. Namun, tak diindahkan. Lalu, petugas berusaha membubarkan dengan menyemprotkan dengan water cannon. Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi menyatakan, sejauh ini ia dan 78 lembaga bantuan hukum Indonesia telah melakukan pendampingan terhadap warga Rempang yang menjadi target penggusuran atas proyek nasional itu. Zenzi menyebut juga aksi pasukan gabungan yang memaksa masuk ke kawasan Rempang itu bukan hanya untuk melakukan pengukuran atau memasang patok saja, melainkan untuk melakukan penggusuran secara paksa warga yang menolak direlokasi. “Karena sedari awal tujuannya adalah untuk menggusur paksa warga dari tanah adatnya, maka kegiatan tersebut mendapatkan penolakan dari warga,” sebut Zenzi dalam sebuah pernyataan. Namun, tambah Zenzi, akibat penolakan itu justru berujung bentrokan berdarah hingga mengakibatkan puluhan warga Rempang luka-luka dan sekitar enam orang lainnya ditangkap serta sejumlah siswa sekolah mengalami luka akibat gas air mata

situs sejarah kawasan Rempang yang merupakan keturunan para prajurit Kesultanan Riau-Lingga yang sudah eksis sejak 1720 masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I. Perang Riau I (1782-1784) mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah.

“Dan, dalam Perang Riau II (1784–1787) mereka adalah prajurit Sultan Mahmud Riayat Syah. Ketika Sultan Mahmud Riayat Syah berhijrah ke Daik-Lingga pada 1787, Rempang-Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga. Pemimpinnya Engku Muda Muhammad dan Panglima Raman yang ditunjuk oleh Sultan Mahmud. Bahkan pasukan Belanda dan Inggris saja tak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau-Lingga. Anak-cucu merekalah sekarang yang mendiami Rempang-Galang secara turun-temurun. Pada Perang Riau itu nenek-moyang mereka disebut Pasukan Pertikaman Kesultanan,

Check Also

Dua S Terkait Seringnya Konsolidasi Komandan Dasco Di Banten

Oleh : Abdullah Amas (Direktur Eksekutif ATUM Institute)   Menghadiri Koordinasi Pemenangan Pemilihan Kepala Daerah …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *