Disebut Terlibat Korupsi Kopi, Ketum Partai Gelora Anis Matta Waktu Itu Bantah Dengan Hal Ini

Disebut Terlibat Korupsi Kopi, Ketum Partai Gelora Anis Matta Waktu Itu Bantah Dengan Hal Ini

 

Ketua Umum DPP Partai Gelora yang ketika di 2014 menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta membantah kenal atau berhubungan dengan pengusaha bernama Yudi Setiawan dalam kasus pengadaan bibit kopi tahun 2013 dan proyek pengadaan laboratorium benih padi di Libang Kementerian Pertanian tahun 2013.

 

Selain itu, mantan Wakil Ketua DPR tersebut juga membantah pernah membahas perihal proyek bibit kopi di Kementerian Pertanian (Kemtan) dengan Yudi Setiawan selaku Direktur PT Cipta Inti Parmindo.

 

“Tidak, tidak pernah (Yudi Setiawan), tadi (dalam sidang) juga kan tidak ditanyakan,” kata Anis usai bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (26/9).

 

Anis juga menegaskan tidak pernah ada aliran dana yang diterimanya terkait proyek kopi ataupun terkait Yudi Setiawan.

 

“Tadi ditanyakan tidak (soal aliran dana)? Memang tidak ada, jika ada pasti ditanyakan (dalam sidang),” ujarnya.

 

Nama Anis Matta memang diduga terlibat dalam proyek pengadaan bibit kopi tahun 2013 dan proyek pengadaan laboratorium benih padi di Libang Kementerian Pertanian tahun 2013.

 

Dalam surat dakwaan milik terdakwa Ahmad Fathanah yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tipikor

Jakarta, Senin (24/6), dikatakan semua bermula pada 18 September 2012. Ketika itu, terdakwa Ahmad Fathanah yang dikenal sebagai orang dekat Luthfi Hasan, menemui pengusaha Yudi Setiawan.

 

Kemudian, Fathanah menyodorkan berkas proyek pengadaan bibit kopi di Kemtan untuk tahun 2013, kepada Yudi. Selanjutnya, meminta uang pelicin sebesar 1 persen dari nilai proyek sebesar Rp 189 miliar untuk diserahkan ke Luthfi, yaitu sebesar Rp 1,9 miliar.

 

Untuk meyakinkan Yudi, Fathanah mengaku berkas itu diperoleh dari Anis Matta yang kala itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI sekaligus Sekjen DPP PKS.

 

Bahkan, untuk semakin meyakinkan Yudi, Fathanah langsung menelepon Anis Matta. Kemudian, membiarkan Yudi berbicara langsung dengan Anis melalui sambungan telepon tersebut.

 

Yudi yang percaya, lantas kembali ke tempat tinggalnya di Apartemen Sudirman untuk mengambil uang. Untuk selanjutnya menyerahkan uang tunai untuk Luthfi melalui Fathanah berupa 50 ribu dolar Amerika dan

140 ribu dolar Singapura atau setara dengan Rp 1,56 miliar.

 

Namun, uang tersebut masih kurang Rp 338 juta dari perjanjian sebelumnya. Sehingga, Fathanah kembali meminta kekurangannya kepada Yudi.

 

Yudi ternyata tidak sepenuhnya percaya kepada Fathanah. Sebab, sebelum memberikan kekurangan komitmen, Yudi memerintahkan stafnya Dedi Pomad untuk mengecek perihal proyek pengadaan tersebut ke Dirjen Perkebunan. Setelah dipastikan benar, Yudi mentransfer uang melalui ATM (anjungan tunai mandiri) sebanyak 6 kali sebesar Rp 50 juta dan Rp 38 juta satu kali kepada Ahmad Fathanah. Sehingga, seluruh uang yang diberikan Yudi ke Luthfi berjumlah Rp 1,9 miliar.

 

Demikian juga, untuk proyek pengadaan laboratorium benih padi di Litbang Kemtan tahun 2013 dengan pagu anggaran Rp 175 miliar, Anis Matta kembali disebut.

 

Untuk mendapatkan fee sebesar satu persen dari nilai proyek sebesar Rp 1,75 miliar dari Yudi, Luthfi menjanjikan akan membantu komunikasi dengan Anis Matta. Dengan maksud, agar proyek tersebut didapat Yudi.

2011, Kala Politisi PAN Ungkap Dugaan Suap Ketum Partai Gelora Anis Matta

Tak hanya soal Kopi, soal dugaan KKN Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI kala itu di 2012 Anis Matta yang kini Ketua Umum Partai Gelora dinilai patut dijadikan tersangka kasus suap perkara Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) 2011. ”Dia menyalahgunakan wewenang,” kata Sulistyowati, pengacara tersangka kasus suap DPID, Wa Ode Nurhayati, Selasa 1 Mei 2012 kemarin.

Menurut dia, sebagai pemimpin DPR yang membidangi keuangan, Anis Matta berpotensi menggunakan kewenangannya secara keliru. Seperti ketika mengirim surat kepada Menteri Keuangan Agus Martowardojo, yang berisi daftar daerah penerima alokasi DPID pada 2011 sebesar Rp 7,7 triliun.

Lampiran surat itu diteken oleh Ketua Badan Anggaran Melchias Markus Mekeng beserta para wakil ketua, yakni Tamsil Linrung, Olly Dondokambey, dan Mirwan Amir. Isi surat itu dinilai berbeda dengan hasil kesepakatan pemerintah dengan Badan Anggaran sebelumnya. ”Ada surat balasan dari Menkeu yang mempertanyakan isi surat Anis,” kata Sulistyowati.

Dalam proyek itu, kata dia, telah disepakati jumlah dan kriteria daerah penerima DPID. Belakangan terjadi perubahan daftar daerah penerima tanpa sepengetahuan pemerintah dan anggota Badan Anggaran. Walau sempat mempertanyakan isi surat, akhirnya Menteri Keuangan menyetujui usulan itu dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25 Tahun 2011.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto tak bersedia menjelaskan ihwal DPID pada 2011. “Maaf, saya tak menangani hal itu, tak bisa kasih komentar,” katanya Selasa malam 1 Mei 2012. Adapun Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Kiagus Ahmad Badarudin dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Marwoto Harjowiryono tak menjawab panggilan telepon dan pesan pendek dari Tempo.

Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi S.P., menyatakan penyidik telah menjadwalkan pemeriksaan Anis pada Kamis 3 Mei 2012 besok. “Surat pemanggilannya sudah dikirim,” katanya Selasa 1 Mei 2012 kemarin. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera itu tak memenuhi panggilan KPK. Anis Matta dipanggil KPK pada Jumat pekan lalu, tapi tak hadir karena bertolak ke luar negeri.

Sumber Tempo di KPK menyatakan, peran Anis akan diketahui setelah menjerat politikus PKS, Tamsil Linrung; dan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Olly Dondokambey. “Makanya pengembangan kasus ke Tamsil dan Olly dulu,” kata sumber tersebut.

Menurut sumber itu, keduanya, yang juga anggota Badan Anggaran, diduga ikut mendorong agar proyek DPID ditangani oleh sejumlah perusahaan di beberapa daerah. ”Ada indikasi mereka ikut menerima hadiah.”

Olly belum bisa dimintai penjelasan kemarin, sedangkan Tamsil menyatakan siap diperiksa KPK. “Kapan pun,” ujarnya. Tentang peran Anis Matta, kata Tamsil, cuma meneruskan surat dari pemimpin Badan Anggaran kepada Menteri Keuangan.

Dia menjelaskan, itu merupakan balasan surat Menteri Keuangan sebelumnya soal beberapa daerah yang tak bisa memperoleh alokasi DPID karena pengajuannya terlambat. “Menkeu mengakui kesalahan. Sudah lewat batas waktu, itu sudah diketuk (DPR),” ujarnya di kantor pusat PKS, Jakarta, kemarin. Akhirnya, dari 424 daerah penerima program DPID, dikurangi 126 daerah.

Check Also

Dua S Terkait Seringnya Konsolidasi Komandan Dasco Di Banten

Oleh : Abdullah Amas (Direktur Eksekutif ATUM Institute)   Menghadiri Koordinasi Pemenangan Pemilihan Kepala Daerah …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *